Mengunjungi Kashmir
pada waktu yang kurang tepat. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum kedatangan
saya, Kashmir dilanda banjir besar yang menewaskan 335 orang. Berita yang sama
sekali tidak menyurutkan langkah saya untuk menuju negeri impian di kaki Himalaya,
the Paradise on Earth.
Tiba
di ibu kota musim panas Kashmir, Srinagar, kondisi pusat kota masih tergenang
air. Aktivitas perekonomian lumpuh. Toko, rumah makan dan hotel banyak yang
memilih tutup. Juga kawasan wisata terkenal di Srinagar, danau Dal, sepi turis.
Jadi inget omongan bule sewaktu ketemu di warnet sekitar Paharganj, Delhi.
Ngapain kamu mau ke Srinagar? Di sana masih banjir, katanya.
Srinagar
ibarat gadis cantik yang lagi berduka, acak-acakan tidak memperdulikan
penampilannya. Hamparan bunga lotus berwarna warni yang biasanya menghiasi
danau dal dan danau Nigeen berantakan tersapu banjir. Perkampungan di tepian
danau ditinggal penduduknya untuk mengungsi karena masih tergenang air. Pasar
terapung yang ramai pada pagi hari dengan aktivitas jual beli orang local juga
tidak tampak. House boat banyak yg tutup, tidak terima wisatawan, Shikara juga
banyak yang tidak beroperasi. Tersisa taman Mughal yang katanya cantik tapi
saya tidak tertarik untuk mengunjunginya. Taman buatan gitu lho walaupun dibikin
jaman Mughal dulu.
Nyesal?
Ga juga sih. Menikmati indahnya pegunungan Himalaya dari jendela pesawat dalam
penerbangan Delhi-Srinagar tentu pengalaman yang tiada duanya. Menginjakkan
kaki di tanah pergolakan juga membangkitkan sensasi tersendiri. Menghirup udara
kota yang hanya berjarak 150 km dari Islamabad, Ibu Kota Pakistan, rasanya
pasti beda. Mungkin yang sedikit nyesel karena kejadian di houseboat waktu itu.
‘Give
me some tips?’ Bapak tukang perahu yang mengantar saya keliling danau meminta
tip, setelah saya membayar ongkos perahu sesuai kesepakatan. ‘No, it’s enough
sir’. ‘Tapi tadi saya sudah jelaskan banyak hal tentang tempat ini kepada kamu,
tambahkanlah tip kepada saya’. Bapak itu terus mendesak. ‘Bapak tadi sepakat
mau antar saya ke floating market, mana buktinya pak?’. Saya mulai tidak bisa
menyembunyikan kekecewaan yang saya tahan2 sejak dari tadi. ‘Kamu tahu semua
hancur akibat banjir, penduduk sekitar danau banyak yang mengungsi, floating
market tidak ada lagi sekarang. Apakah kamu mau protes kepada Tuhan?’ Ini orang
sudah mulai ngeles, ketahuan bohongnya, ngapain coba kalo tahu ga ada floating
market masih janji mau antar kesana? ‘No’, saya jawab singkat saja. ‘Tapi tadi
keliling lebih dari 1 jam sesuai kesepakatan’, dia terus mendesak. ‘How much
you want???’. Dengan nada tinggi, setengah marah, hilang sudah kesabaran saya.
Siapa juga yang suruh keliling lebih dari 1 jam. Bapak tukang perahu diam ga
menjawab, Akhirnya saya kasih 100 rupee (20k IDR) dengan tatapan tidak ikhlas
dan langsung meninggalkan beliau.
Beberapa
saat kemudian bapak tukang perahu datang lagi dengan membawa makanan. Mungkin
tahu saya kecewa berat dan merasa dibohongi. ‘Ini makanan buat kamu, makanlah,
jangan sedih, saya akan senang kalau lihat kamu gembira.’ Amarah yang belum
hilang tadi membuat saya menolak dan tidak mau makan pemberian itu. Kontan saja
Bapak tadi kaget, kecewa, langsung meninggalkan saya dan tidak pernah nongol
lagi. Betul2 saya telah melakukan penghinaan yang menyakitkan kepada si Bapak.
Saya
sadar betul bahwa ada budaya kuat di kalangan masyarakat Kashmir untuk
menghormati tamunya. Mereka akan berusaha menyuguhkan sesuatu kepada tamu,
menjamu tamu, melindungi tamu walaupun kemampuan hidupnya terbatas. Kemuliaan
yang akhirnya saya balas dengan keburukan. Sadisnya diriku…
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
|
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar