Senin, 19 Januari 2015

SADIS


Mengunjungi Kashmir pada waktu yang kurang tepat. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum kedatangan saya, Kashmir dilanda banjir besar yang menewaskan 335 orang. Berita yang sama sekali tidak menyurutkan langkah saya untuk menuju negeri impian di kaki Himalaya, the Paradise on Earth.
Tiba di ibu kota musim panas Kashmir, Srinagar, kondisi pusat kota masih tergenang air. Aktivitas perekonomian lumpuh. Toko, rumah makan dan hotel banyak yang memilih tutup. Juga kawasan wisata terkenal di Srinagar, danau Dal, sepi turis. Jadi inget omongan bule sewaktu ketemu di warnet sekitar Paharganj, Delhi. Ngapain kamu mau ke Srinagar? Di sana masih banjir, katanya.
Srinagar ibarat gadis cantik yang lagi berduka, acak-acakan tidak memperdulikan penampilannya. Hamparan bunga lotus berwarna warni yang biasanya menghiasi danau dal dan danau Nigeen berantakan tersapu banjir. Perkampungan di tepian danau ditinggal penduduknya untuk mengungsi karena masih tergenang air. Pasar terapung yang ramai pada pagi hari dengan aktivitas jual beli orang local juga tidak tampak. House boat banyak yg tutup, tidak terima wisatawan, Shikara juga banyak yang tidak beroperasi. Tersisa taman Mughal yang katanya cantik tapi saya tidak tertarik untuk mengunjunginya. Taman buatan gitu lho walaupun dibikin jaman Mughal dulu.
Nyesal? Ga juga sih. Menikmati indahnya pegunungan Himalaya dari jendela pesawat dalam penerbangan Delhi-Srinagar tentu pengalaman yang tiada duanya. Menginjakkan kaki di tanah pergolakan juga membangkitkan sensasi tersendiri. Menghirup udara kota yang hanya berjarak 150 km dari Islamabad, Ibu Kota Pakistan, rasanya pasti beda. Mungkin yang sedikit nyesel karena kejadian di houseboat waktu itu.
‘Give me some tips?’ Bapak tukang perahu yang mengantar saya keliling danau meminta tip, setelah saya membayar ongkos perahu sesuai kesepakatan. ‘No, it’s enough sir’. ‘Tapi tadi saya sudah jelaskan banyak hal tentang tempat ini kepada kamu, tambahkanlah tip kepada saya’. Bapak itu terus mendesak. ‘Bapak tadi sepakat mau antar saya ke floating market, mana buktinya pak?’. Saya mulai tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang saya tahan2 sejak dari tadi. ‘Kamu tahu semua hancur akibat banjir, penduduk sekitar danau banyak yang mengungsi, floating market tidak ada lagi sekarang. Apakah kamu mau protes kepada Tuhan?’ Ini orang sudah mulai ngeles, ketahuan bohongnya, ngapain coba kalo tahu ga ada floating market masih janji mau antar kesana? ‘No’, saya jawab singkat saja. ‘Tapi tadi keliling lebih dari 1 jam sesuai kesepakatan’, dia terus mendesak. ‘How much you want???’. Dengan nada tinggi, setengah marah, hilang sudah kesabaran saya. Siapa juga yang suruh keliling lebih dari 1 jam. Bapak tukang perahu diam ga menjawab, Akhirnya saya kasih 100 rupee (20k IDR) dengan tatapan tidak ikhlas dan langsung meninggalkan beliau.
Beberapa saat kemudian bapak tukang perahu datang lagi dengan membawa makanan. Mungkin tahu saya kecewa berat dan merasa dibohongi. ‘Ini makanan buat kamu, makanlah, jangan sedih, saya akan senang kalau lihat kamu gembira.’ Amarah yang belum hilang tadi membuat saya menolak dan tidak mau makan pemberian itu. Kontan saja Bapak tadi kaget, kecewa, langsung meninggalkan saya dan tidak pernah nongol lagi. Betul2 saya telah melakukan penghinaan yang menyakitkan kepada si Bapak.
Saya sadar betul bahwa ada budaya kuat di kalangan masyarakat Kashmir untuk menghormati tamunya. Mereka akan berusaha menyuguhkan sesuatu kepada tamu, menjamu tamu, melindungi tamu walaupun kemampuan hidupnya terbatas. Kemuliaan yang akhirnya saya balas dengan keburukan. Sadisnya diriku…


Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption










Add caption
Add caption




Tidak ada komentar:

Posting Komentar