Jumat, 26 September 2014

MARATHON ala DELHI

Ibarat mengikuti lomba lari marathon dan berhasil finish di urutan pertama, itulah yang saya rasakan sore itu. 

Saya tiba di Stasiun New Delhi tepat pukul 4 sore, satu jam lebih awal dari jadwal keberangkatan kereta yang akan menuju Jaisalmer. Sengaja datang awal agar lebih santai dan tidak tergopoh-gopoh mencari platform (jalur) kereta. Seperti diketahui, jumlah platform di stasiun besar India bisa mencapai puluhan. Jadi harus memperhatikan pengumuman baik-baik karena setiap saat kereta bisa berubah jalur, juga interval waktu keberangkatan antar kereta cukup pendek. 

Hal pertama yang saya lakukan saat tiba di stasiun tentunya melihat informasi keberangkatan kereta dari layar monitor. Kok belum ada ya, apa mungkin karena keberangkatan kereta masih lama? Lanjut mengamati papan informasi manual, keberangkatan kereta juga tidak ada. Ah, itu papan mungkin sudah tidak updated lagi mengingat kondisinya yang terlihat kusam dan tua. 

Setelah 15 menit berlalu dan layar monitor belum menunjukkan perubahan, baru saya beranjak dari tempat duduk, mencoba bertanya kepada petugas dan memperoleh informasi bahwa kereta ke Jaisalmer bukan berangkat dari stasiun New Delhi, tetapi stasiun Delhi. Saya kira Delhi dan New Delhi itu sama, ternyata beda stasiun. Tetapi santai saja lah, masih banyak waktu, 45 menit. Lagipula jarak menuju stasiun Delhi hanya 4 km, paling-paling seperempat jam juga sudah sampai.

Memutuskan naik tuk-tuk agar cepat sampai, ternyata baru jalan beberapa puluh meter sudah terjebak macet, bahkan tidak bergerak sama sekali. Di tengah kebimbangan setelah 15 menit menunggu dan kemacetan tidak ada tanda-tanda segera terurai , saya putuskan untuk turun dan berjalan kaki saja. Setelah beberapa ratus meter berjalan kaki, terlihat jalanan mulai bergerak perlahan. Alhamdulillah…

Saya kembali memanggil tuk-tuk. Tinggal setengah jam membuat kekhawatiran terlambat mulai muncul. Keterlambatan yang tidak hanya menghanguskan tiket ke Jaisalmer saja, tetapi 4 tiket kereta hingga Mumbai, juga tiket domestic flight Mumbai-Chennai. Rugi ribuan Rupee sudah terbanyang di depan mata. Konsekuensi yang paling parah tentunya membuyarkan semua rencana perjalanan yang telah ada. Oh, no!! Tidak ada pilihan selain tidak terlambat. Saya minta kepada pak sopir untuk memacu kendaraan lebih cepat lagi. Cepettannn pakkk….

Bener-bener cobaan berat. Baru sebentar jalan, ternyata sudah macet lagi. Kali ini, tak perlu berfikir panjang buat saya untuk memutuskan turun dan lari sekencang-kencangnya dengan beban karung (backpack, red) di punggung segede gaban seperti menggendong anak gajah saja (hiperbola, red). Itu pilihan tercepat untuk tiba di stasiun dibandingkan moda transportasi apapun. Tanpa lagi memperdulikan waktu yang tersisa, capek, panas, haus, polisi, garong, copet, pengemis, calo, Kareena Kapoor, juga Aishwarya Rai. Hanya bisa berlari dan terus berlari. Lomba lari marathon resmi dimulai. 

Berlari zig zag menghindari ruwetnya kendaraan dan hilir mudik manusia, salah jalan, hingga sempat naik ricksaw sekali lagi ketika kaki sudah tidak kuasa untuk diajak kompromi, akhirnya sukses juga duduk manis di dalam kereta sesaat sebelum kereta bergerak berangkat. Lega, drama yang penuh ketegangan akhirnya terselesaikan dengan baik. 

Ya, saya memenangkan lomba marathon ini. Bukan medali ataupun tropi, tetapi berhasil menyelamatkan ribuan Rupee dan rencana perjalanan yang telah tersusun baik. Menengok jam, kereta memang sedikit terlambat berangkat, yang justru membuat saya tidak jadi terlambat. Sekali lagi, syukur Alhamdulillah…


Selasa, 23 September 2014

ALTITUDE SICKNESS

Satu lagi tempat istimewa di India yang sempat saya kunjungi saat mbolang tempo hari, yaitu Khardung La. Ada 3 hal yang mengesankan buat saya dari tempat ini.

Pertama, Khardung La top is the highest motorable road in the world. Kalau kita bandingkan dengan puncak jaya yang memiliki ketinggian 16023 feet, Khardung La masih lebih tinggi yaitu 18380 feet. Berkesempatan menapaki tempat ini tentu menjadi pencapaian tersendiri buat saya, keharuan bahwa saya telah melintasi jalanan tertinggi di dunia.

Kedua, Khardung La adalah bagian dari jalur sutra yang legendaris. Jalur perdagangan pada masa lampau yang menghubungkan dunia timur - barat dan berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan China, India, dan Roma. Jalur ini diperkirakan sudah terbentuk sekitar 3000 tahun yang lalu, betul2 tua !! Berimajinasi dengan mencoba memutar balik mesin waktu, jalanan yang sampai sekarang masih berupa pengerasan tanah ini dulunya banyak dilintasi pedagang, pengelana, biarawan, prajurit, nomaden dengan menggunakan caravan atau kuda poni. Menembus kondisi alam yang ekstrim namun sungguh cantik. Jalur yang meliuk-liuk dan sempit ini benar2 fantastis. Unbelievable !

Ketiga, Khardung La membuat saya sempat merasakan gejala altitude sickness atau AMS (acute mountain sickness), penyakit yang disebabkan oksigen tipis di ketinggian. Rasa pusing dan mual setelah kunjungan ke Khardung La ditambah lagi dinginnya udara yang menusuk tulang memaksa saya terkapar semalaman di atas tempat tidur. Kesalahan terbesar ketika di Khardung La yaitu terlalu banyak gerak, naik bukit ambil foto atau berlari2 untuk menghemat waktu. Untunglah tidak berakibat fatal.

Khardung La, kamu cantik tapi bisa membunuh.


Add caption
Add caption



Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption










Add caption
Add caption


Senin, 22 September 2014

THE SECOND COLDEST

Drass adalah sebuah kota kecil di wilayah Kashmir, India. Kalau di Indonesia mungkin seukuran kota kecamatan saja. Berada dekat sekali dengan perbatasan Pakistan, kota Drass pernah menjadi ajang pertempuran sengit antara pasukan India dan Pakistan tahun 1999 dalam memperebutkan wilayah Kashmir. Isu Kashmir inilah juga yang menjadi penyebab kenapa dua negara bertetangga ini tidak pernah akur sejak sama-sama merdeka dan beberapa kali terlibat konflik di perbatasan.

Memandangi bukit di sekitar kota dan menyadari bahwa dibaliknya adalah wilayah Pakistan, sebenarnya secara geografis amatlah dekat, selemparan batu, tapi terasa jauh dan asing. Karena masalah politik, Drass harus terpisah dengan serumpunnya yang masuk wilayah Pakistan dan tidak pernah lagi saling berhubungan. Putus total.

Tapi bukan masalah politik India - Pakistan yang menarik buat saya dan membuat Drass menjadi istimewa ketika saya berkesempatan mengunjungi kota ini. Tetapi dinginnya Drass saat musim dingin lah yang ‘something special’. Tentang bagaimana manusia bisa beradaptasi dan bertahan hidup dalam cuaca yang sangat ekstrim.

Kota Drass sempat dinobatkan sebagai ‘inhabited place’ dengan suhu terdingin kedua di dunia pada 9 Januari 2005. Saat itu temperaturnya terekam -60 derajat Celsius! Kedua setelah Siberia.

Bagaimana mau coba semriwingnya ? Datanglah ke sana bulan Januari !


Add caption
Add caption



Add caption
Add caption











Add caption
Add caption














Add caption
Add caption











Add caption
Add caption














Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption











Add caption
Add caption














Add caption
Add caption


Rabu, 17 September 2014

LELAKI TERHORMAT

Sudah 2 hari di Kolkata dan 2 hari di Varanasi, belum pernah sekalipun mencoba naik ricksaw yang ditarik manusia. Kesempatan datang ketika hendak menuju stasiun Varanasi setelah check out dari hotel, guna melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya, Agra. Tanya harga dan dijawab 50 rupee (10 ribu). Tanpa merasa perlu menawar lagi karena ongkos sudah cukup rasional, akhirnya ayo pak, lanjut!! 

Mengamati bapak penarik ricksaw ini bekerja di tengah kondisi jalanan yang super crowded dan cuaca yang cukup panas sungguh mengagumkan. Sekuat tenaga, penuh semangat, tetapi tetap konsentrasi agar tidak bersenggolan dengan kendaraan lain. Terselip rasa iba melihat beratnya pekerjaan yang harus dijalani. Tarikan napas yang tertahan, keringat mengucur deras, dan otot2 badan yang mengeras cukup menggambarkan kondisi yang dialami si bapak. Gigih dan sungguh mulia. Salut pak…

Setelah setengah jam berlalu dan saya rasakan perjalanan cukup jauh, tiba juga di stasiun Varanasi. Karena merasa kasihan, ada keinginan memberikan tip sebagai penghargaan untuk kerja kerasnya. Akhirnya, dengan 3 lembar uang rupee 20-an dan memasang senyum setulus2nya, saya serahkan sambil mengucapkan terima kasih.

Si bapak mengamati lembaran demi lembaran uang yang baru saja diterimanya. Meraba, menerawang, juga membolak-balik sebelum akhirnya dengan nada tegas (kurang bersahabat, red) seakan-akan menuntut haknya yang dicurangi, meminta ganti 2 lembar uang yang dirasa kurang bagus kondisinya dengan yang lebih baik dan memberikan 10 rupee sebagai kembalian kepada saya. Baru selanjutnya terlihat rasa puas dan lega di wajah si bapak setelah mendapatkan hak dari hasil kerja kerasnya sendiri dan dengan sangat hati hati menaruh uang tersebut di dalam dompet. 

Bener2 terkejut dan terpana melihat sepotong adegan yang diperankan oleh si bapak tersebut. Saya yang sebelumnya merasa sok dermawan dan berharap balasan senyuman karena telah memberikan tambahan tips, akhirnya harus mendapatkan pelajaran penting. Sungguh merasa tertampar. Lelaki tua yang miskin itu ternyata tidak butuh dikasihani karena kemiskinannya, puas dengan hasil kerjanya sendiri, hanya menuntut haknya dipenuhi dengan baik, tidak lebih dan tidak kurang. 

Dengan terburu2 saya membalikkan badan dan melangkahkan kaki ke arah stasiun sebelum air mata ini jatuh, terharu. Terima kasih pak untuk pelajaran singkatnya siang ini. Lelaki hebat dan terhormat.


Senin, 15 September 2014

ARE YOU SNAP ?

Are you snap? Are you snap? Saya dengar suara klik, berarti kamu memotret saya, bentak perempuan itu sambil marah-marah dan penuh nada selidik. Peristiwa ngeri2 sedap ini terjadi di dalam kereta api yang melaju dari Kolkata menuju Varanasi. 

Dalam gerbong sleeper kelas 3 ini, saya berhadapan tempat dengan seorang perempuan setengah baya yang memainkan drama bollywood. Berjam-jam asyik ngobrol melalui ponselnya, bahkan seingat saya sejak awal kereta berangkat. Ada kalanya menangis tersedu sedan menyayat hati (serius ini sungguhan, red), sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak, bersenda gurau, berubah lagi berbisik mesra. Tanpa sedikitpun mengacuhkan penumpang lain yang mau ga mau tertarik memperhatikannya.

Sehubungan ini perjalanan pertama dengan kereta api di India, tergerak hati untuk mengabadikan suasana dalam gerbong, apalagi gerbong sleeper tidak ada di Indonesia. Sama sekali tidak ada niat untuk nge-shoot atau memfokuskan lensa ke arah perempuan tersebut. Sehubungan tepat berada di depan, mau tidak mau ya pasti kena juga. Lagian ngapain coba, focus ke perempuan setengah tua itu, wajah dan body tidak cukup fotogenik untuk dijadikan model, hehe… 

Setelah beberapa take, kaget dan tidak menyangka mendapat respon keras seperti itu. Seketika muncul kekhawatiran bahwa kondisi akan berkembang tidak terkendali, ribut, lalu urusan polisi. Jangan2 si perempuan itu istrinya tuan takur atau saudaranya inspektur vijay atau dari kasta tinggi. Entahlah, ga paham juga apakah foto sembarangan ke arah perempuan di India itu hal yang tabu atau tidak.

Mengatasi kekisruhan dengan jurus dewa mabuk, itu yang coba saya lakukan. Pura2 bego, tidak mengerti masalahnya apa, pura2 tidak bisa bahasa Inggris (ini sih ga pura2 banget, actually my english is very bad, red). Saya hanya ngomong ha-he-ha-he sambil tangan berusaha men-delete foto2 tadi. Setelah suasana dirasa aman dan si perempuan berhenti ngoceh, mungkin karena frustasi ngadapi orang yang ga nyambung, saya buru2 pergi tidur, menutup rapat badan dengan selimut, serta berharap ketika bangun si perempuan sudah tidak ada lagi di tempat. 


Harapan yg akhirnya terkabul, Alhamdulillah.…


Minggu, 14 September 2014

THE SPIRIT of INDIA

Banyak yang bilang setelah berkunjung ke India, hanya ada 2 kemungkinan, yang pertama menjadi orang mudah iba dan bersimpati melihat kemiskinan (penderitaan, red) atau malah mati rasa dan apatis. Saya memiliki pandangan yang berbeda.

Kolkata sebagai destinasi pertama adalah metropolitan ke-3 di India setelah Mumbai dan New Delhi. Berpenduduk 14 juta jiwa (compare with DKI Jakarta yang 10 juta, red), jangan dibayangkan berwajah seperti layaknya metropolitan dunia lainnya. Tetapi sungguh saya jatuh cinta dengan kota ini, yang saya juluki sebagai ‘the spirit of India’ atau ‘the power of India’. Banyak hal baik yang perlu kita pelajari dari Kolkata.

Menyambung cerita sebelumnya, tidak ada kesialan yang bener2 sial di dunia ini, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. Lokasi hotel tempat menginap di malam pertama yang berada di tengah perkampungan padat penduduk dan dekat pasar tradisional yg sungguh2 tradisional (kumuh, red), memudahkan saya untuk dapat melihat dinamika kehidupan masyarakat grassroots Kolkata. Agenda pertama pagi ini tentu mencari hotel yang murah sambil jalan2, melihat situasi dan berusaha beradaptasi dengan kehidupan yang ada.

Keluar hotel, langsung terkesima melihat hilir mudiknya ricksaw yang ditarik manusia seperti terlihat di film2 kungfu mandarin. Manusia2 yang gigih, betapa kuatnya tenaga mereka. Berlanjut dengan menelusuri lorong2 sempit, melihat dinamika kehidupan ekonomi, ramainya pasar, aktifitas kuli2 pengangkut barang, serta beragam jualan. Bagaikan sebuah panggung yang menampilkan drama kehidupan. Sungguh indah, terharu dan menaruh hormat melihat semua orang bersemangat dan penuh tenaga mencari rejeki. Di sini, saya hanya melihat pengemis dan pekerja keras saja, tidak nampak yang ‘pura2’ bekerja, seperti pura2 ngelap mobil di lampu merah, pura2 jrang jreng ala kadarnya, atau pura2 prat prit mobil yang parkir di pinggir jalan. 

Pagi ini saya hanya mampu menikmati chai tea ala India seharga 4 rupee (800 perak), masih belum sanggup untuk mencoba tantangan makan pagi di warung2 yang ramai dan terlihat pengap dengan tungku masak yang mengepul, juga penjual dan orang2 yang makan disitu rata2 bertelanjang dada penuh keringat. 

Setelah acara pindahan hotel selesai, giliran dengan menelusuri jalanan utama Kolkata. Rasa kagum melihat public transport yang lumayan lengkap untuk ukuran metropolitan yang ‘super katrok’ ini. Ada tram, subway, bis kota yang cukup banyak walaupun kesemuanya dengan moda yang buntut dan berjubel. Sistem yang terbangun sesungguhnya sudah cukup baik dan masyarakat juga sudah terbiasa hidup dengan system. Suatu saat ketika India sudah memiliki banyak uang, tinggal memodernisasikan saja tanpa harus bersusah payah mengedukasi masyarakatnya. Bagaimana dengan Indonesia??? 

Juga yang menarik dari Kolkata adalah banyaknya bangunan heritage peninggalan Inggris yang megah walaupun kebanyakan dalam kondisi mengenaskan. Maklumlah, India belum cukup banyak uang hanya untuk sekedar dipakai mempercantik bangunan. Saya melihat focus pemerintah masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar yang murah dan penyediakan kran untuk minum dan mandi gratis di segala penjuru kota. Tak lupa juga kebijakan melarang (atau membatasi, red) mall, supermarket, minimarket untuk melindungi usaha kecil dan menghindari monopoli usaha.


Jadi masih merasa perlu sok kasihan dengan India???


Sabtu, 13 September 2014

NAMASTE INDIA


Berkunjung ke India untuk pertama kalinya tentu bukan tanpa persiapan sama sekali. Mencari sedikit informasi dengan googling atau membaca beberapa blog tentang pengalaman penulis selama travelling di India saya rasa sudah cukup. Sengaja ‘sedikit’ untuk menjaga dinamika, tantangan dan unpredictable situation. Kejutan2 inilah yang justru menjadi candu, disamping juga perjalanan akan menjadi lebih kaya cerita dan makna. 
  
Pastinya bukan menggali informasi lewat Lonely Planet. Kitab sucinya para traveler ini menurut saya lebih mirip buku resep masakan. Nginap dimana, makan dimana, naik apa dan ongkosnya berapa, sebaiknya kemana semuanya tertulis rinci seperti resep masakan. Hasilnya bisa ditebak dan akan memiliki cita rasa yang sama. Ga asyik kan masalah berapa siung bawang saja harus diatur2, padahal selera setiap orang pasti berbeda.

Transit di KLIA2 serasa belum ke luar negeri. Banyaknya kesamaan dengan negeri jiran ini membuat semuanya menjadi mudah dan nyaman. Ketegangan sedikit meningkat saat panggilan boarding terdengar. Tengok kanan kiri semuanya India. Sepertinya saya satu2nya muka ‘asing’ disini. Bakalan ga ada temen nih saat ngurus Visa on Arrival. Ah, peduli setan, the show must go on.

Memasuki pesawat semuanya normal2 saja. Aroma India yang menurut blogger sudah tercium sejak di dalam pesawat tidak terbukti sama sekali. Atau jangan2 hidung ini yang kurang sensitive atau saya-nya yang lebih busuk dari mereka, entahlah. Saya lihat rata2 penumpang India berpenampilan rapi layaknya masyarakat middle class, jauh lebih katrok-an saya yang cuman berkaos kumal dan sandalan jepit. 

Mendarat dengan mulus di Netaji Subhas Chandra Bose International Airport, bandara Kolkata yang relative masih baru dan lumayan layak untuk ukuran negara miskin (berkembang, red), banyak mengurangi kekhawatiran saya. Proses pengurusan VoA dan imigrasi berjalan lancar (ga pakai dipersulit dan suap, red). Juga adanya prepaid taxi dengan ongkos yang jelas dan murah ke pusat kota, itulah kejutan indah pertama yang tidak terduga2 dari India. 

Kejutan indah berlanjut selama perjalanan ke pusat kota. Mungkin karena masih dini hari, perjalanan lancar tanpa macet, juga tanpa acara perilaku kebut2an ala film Bollywood seperti yang sering diceritakan banyak blogger (baru nyadar kalo kebanyakan para blogger itu lebay, red). Selama di India, saya amati kondisi lalu lintas juga masih normal2 saja walaupun pastinya tidak serapi negara maju. Buktinya saya tidak pernah lihat insiden serius di jalan raya yang super duper ruwet itu. Bahkan sapi dan anjing bebas berlenggang kangkung di jalanan tanpa takut ditabrak. Buat kita orang Indonesia harus belajar dari India tentang hal ini.

Tanpa booking hotel sebelumnya, saya dengan percaya diri minta untuk diantarkan ke Sudder street yang menurut informasi tempat ngumpulnya budget hotel di pusat kota layaknya jalan Jaksa di Jakarta. Kekhawatiran mulai muncul saat taxi memasuki Sudder street. Sudah jalannya kecil, gelap, dan masya Allah, sepanjang pinggir jalan penuh dipakai orang tidur (tuna wisma, red), kebanyakan hanya memakai sarung atau celana dalam saja. Setelah turun dari taxi, buru-buru mencari hotel murah dengan menelusuri ke’angker’an Sudder street, hasilnya semua pagar penginapan tergembok rapat tanpa penjaga. Apakah ini tanda2 bahwa saya berada di wilayah yang tidak aman? 

Kekhawatiran semakin menjadi-jadi ketika melewati sekumpulan orang dengan mata menatap tajam siap memangsa (lebay, red). Sambil berusaha menguatkan hati, kaki terus mempercepat langkah agar cepat tiba di ujung jalan yang sepertinya lebih terang dan aman. Saya tidak boleh habis di malam pertama dan harus bisa melewati tantangan ini.

Beruntung (atau sial, red) ada taxi yang lewat dan tentunya saya tidak mensia-siakan kesempatan yang ada untuk bisa keluar dari wilayah ini. Saya paham betul, sopir taxi-nya juga tidak akan melewatkan kesempatan emas untuk mendapatkan penumpang (mangsa, red). Ini semuanya beresiko, tapi tentunya harus memilih yang menurut perkiraan paling minim resiko. 

How much? 150 rupee (30 ribu) hingga ke hotel, okelah masih rasional menurut saya. Dan sudah bisa ditebak sebelumnya, setibanya di hotel yang ‘sederhana’ sesuai permintaan saya, si sopir taxi menegoisasikan (kongkalingkong, red) dengan penjaga hotel. The room price is 2500 rupee. Edan, duit 500 rb untuk hotel kelas esek2 begitu. No sir, it’s too expensive for me. Maybe the other hotel. Taxi jalan lagi ke lorong2 sempit perkampungan nan kumuh yang semakin menambah adrenalin saya malam itu. Tiba di hotel yang lebih hancur lagi, seperti sebelumnya, mereka bercakap2 terlebih dahulu sebelum keluar keputusan, 1800 rupee. Ah, sudahlah, capek malam ini. Hitung2 itu harga yang harus dibayar untuk rasa aman. Plus ongkos untuk taxi, si sopir minta dua kali lipat dari perjanjian sebelumnya, 300 rupee. Menyesal kenapa tidak bermalam di airport saja menunggu pagi.

Saya berhasil dirampok malam ini. Menyadarkan diri saya bahwa comfort zone sudah berlalu dan perjalanan panjang resmi dimulai. Namaste, India….