Banyak yang bilang setelah
berkunjung ke India, hanya ada 2 kemungkinan, yang pertama menjadi orang mudah
iba dan bersimpati melihat kemiskinan (penderitaan, red) atau malah mati rasa
dan apatis. Saya memiliki pandangan yang berbeda.
Kolkata sebagai destinasi pertama
adalah metropolitan ke-3 di India setelah Mumbai dan New Delhi. Berpenduduk 14
juta jiwa (compare with DKI Jakarta yang 10 juta, red), jangan dibayangkan
berwajah seperti layaknya metropolitan dunia lainnya. Tetapi sungguh saya jatuh
cinta dengan kota ini, yang saya juluki sebagai ‘the spirit of India’ atau ‘the
power of India’. Banyak hal baik yang perlu kita pelajari dari Kolkata.
Menyambung
cerita sebelumnya, tidak ada kesialan yang bener2 sial di dunia ini, pasti ada
hikmah dari setiap kejadian. Lokasi hotel tempat menginap di malam pertama yang
berada di tengah perkampungan padat penduduk dan dekat pasar tradisional yg
sungguh2 tradisional (kumuh, red), memudahkan saya untuk dapat melihat dinamika
kehidupan masyarakat grassroots Kolkata. Agenda pertama pagi ini tentu mencari
hotel yang murah sambil jalan2, melihat situasi dan berusaha beradaptasi dengan
kehidupan yang ada.
Keluar hotel, langsung terkesima
melihat hilir mudiknya ricksaw yang ditarik manusia seperti terlihat di film2
kungfu mandarin. Manusia2 yang gigih, betapa kuatnya tenaga mereka. Berlanjut
dengan menelusuri lorong2 sempit, melihat dinamika kehidupan ekonomi, ramainya
pasar, aktifitas kuli2 pengangkut barang, serta beragam jualan. Bagaikan sebuah
panggung yang menampilkan drama kehidupan. Sungguh indah, terharu dan menaruh
hormat melihat semua orang bersemangat dan penuh tenaga mencari rejeki. Di
sini, saya hanya melihat pengemis dan pekerja keras saja, tidak nampak yang
‘pura2’ bekerja, seperti pura2 ngelap mobil di lampu merah, pura2 jrang jreng
ala kadarnya, atau pura2 prat prit mobil yang parkir di pinggir jalan.
Pagi ini saya hanya mampu
menikmati chai tea ala India seharga 4 rupee (800 perak), masih belum sanggup
untuk mencoba tantangan makan pagi di warung2 yang ramai dan terlihat pengap
dengan tungku masak yang mengepul, juga penjual dan orang2 yang makan disitu
rata2 bertelanjang dada penuh keringat.
Setelah acara pindahan hotel
selesai, giliran dengan menelusuri jalanan utama Kolkata. Rasa kagum melihat
public transport yang lumayan lengkap untuk ukuran metropolitan yang ‘super
katrok’ ini. Ada tram, subway, bis kota yang cukup banyak walaupun kesemuanya
dengan moda yang buntut dan berjubel. Sistem yang terbangun sesungguhnya sudah
cukup baik dan masyarakat juga sudah terbiasa hidup dengan system. Suatu saat
ketika India sudah memiliki banyak uang, tinggal memodernisasikan saja tanpa
harus bersusah payah mengedukasi masyarakatnya. Bagaimana dengan
Indonesia???
Juga yang menarik dari Kolkata
adalah banyaknya bangunan heritage peninggalan Inggris yang megah walaupun
kebanyakan dalam kondisi mengenaskan. Maklumlah, India belum cukup banyak uang
hanya untuk sekedar dipakai mempercantik bangunan. Saya melihat focus
pemerintah masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar yang murah dan
penyediakan kran untuk minum dan mandi gratis di segala penjuru kota. Tak lupa
juga kebijakan melarang (atau membatasi, red) mall, supermarket, minimarket
untuk melindungi usaha kecil dan menghindari monopoli usaha.
Jadi masih merasa perlu sok
kasihan dengan India???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar