Minggu, 14 September 2014

THE SPIRIT of INDIA

Banyak yang bilang setelah berkunjung ke India, hanya ada 2 kemungkinan, yang pertama menjadi orang mudah iba dan bersimpati melihat kemiskinan (penderitaan, red) atau malah mati rasa dan apatis. Saya memiliki pandangan yang berbeda.

Kolkata sebagai destinasi pertama adalah metropolitan ke-3 di India setelah Mumbai dan New Delhi. Berpenduduk 14 juta jiwa (compare with DKI Jakarta yang 10 juta, red), jangan dibayangkan berwajah seperti layaknya metropolitan dunia lainnya. Tetapi sungguh saya jatuh cinta dengan kota ini, yang saya juluki sebagai ‘the spirit of India’ atau ‘the power of India’. Banyak hal baik yang perlu kita pelajari dari Kolkata.

Menyambung cerita sebelumnya, tidak ada kesialan yang bener2 sial di dunia ini, pasti ada hikmah dari setiap kejadian. Lokasi hotel tempat menginap di malam pertama yang berada di tengah perkampungan padat penduduk dan dekat pasar tradisional yg sungguh2 tradisional (kumuh, red), memudahkan saya untuk dapat melihat dinamika kehidupan masyarakat grassroots Kolkata. Agenda pertama pagi ini tentu mencari hotel yang murah sambil jalan2, melihat situasi dan berusaha beradaptasi dengan kehidupan yang ada.

Keluar hotel, langsung terkesima melihat hilir mudiknya ricksaw yang ditarik manusia seperti terlihat di film2 kungfu mandarin. Manusia2 yang gigih, betapa kuatnya tenaga mereka. Berlanjut dengan menelusuri lorong2 sempit, melihat dinamika kehidupan ekonomi, ramainya pasar, aktifitas kuli2 pengangkut barang, serta beragam jualan. Bagaikan sebuah panggung yang menampilkan drama kehidupan. Sungguh indah, terharu dan menaruh hormat melihat semua orang bersemangat dan penuh tenaga mencari rejeki. Di sini, saya hanya melihat pengemis dan pekerja keras saja, tidak nampak yang ‘pura2’ bekerja, seperti pura2 ngelap mobil di lampu merah, pura2 jrang jreng ala kadarnya, atau pura2 prat prit mobil yang parkir di pinggir jalan. 

Pagi ini saya hanya mampu menikmati chai tea ala India seharga 4 rupee (800 perak), masih belum sanggup untuk mencoba tantangan makan pagi di warung2 yang ramai dan terlihat pengap dengan tungku masak yang mengepul, juga penjual dan orang2 yang makan disitu rata2 bertelanjang dada penuh keringat. 

Setelah acara pindahan hotel selesai, giliran dengan menelusuri jalanan utama Kolkata. Rasa kagum melihat public transport yang lumayan lengkap untuk ukuran metropolitan yang ‘super katrok’ ini. Ada tram, subway, bis kota yang cukup banyak walaupun kesemuanya dengan moda yang buntut dan berjubel. Sistem yang terbangun sesungguhnya sudah cukup baik dan masyarakat juga sudah terbiasa hidup dengan system. Suatu saat ketika India sudah memiliki banyak uang, tinggal memodernisasikan saja tanpa harus bersusah payah mengedukasi masyarakatnya. Bagaimana dengan Indonesia??? 

Juga yang menarik dari Kolkata adalah banyaknya bangunan heritage peninggalan Inggris yang megah walaupun kebanyakan dalam kondisi mengenaskan. Maklumlah, India belum cukup banyak uang hanya untuk sekedar dipakai mempercantik bangunan. Saya melihat focus pemerintah masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar yang murah dan penyediakan kran untuk minum dan mandi gratis di segala penjuru kota. Tak lupa juga kebijakan melarang (atau membatasi, red) mall, supermarket, minimarket untuk melindungi usaha kecil dan menghindari monopoli usaha.


Jadi masih merasa perlu sok kasihan dengan India???


Tidak ada komentar:

Posting Komentar