Sabtu, 13 September 2014

NAMASTE INDIA


Berkunjung ke India untuk pertama kalinya tentu bukan tanpa persiapan sama sekali. Mencari sedikit informasi dengan googling atau membaca beberapa blog tentang pengalaman penulis selama travelling di India saya rasa sudah cukup. Sengaja ‘sedikit’ untuk menjaga dinamika, tantangan dan unpredictable situation. Kejutan2 inilah yang justru menjadi candu, disamping juga perjalanan akan menjadi lebih kaya cerita dan makna. 
  
Pastinya bukan menggali informasi lewat Lonely Planet. Kitab sucinya para traveler ini menurut saya lebih mirip buku resep masakan. Nginap dimana, makan dimana, naik apa dan ongkosnya berapa, sebaiknya kemana semuanya tertulis rinci seperti resep masakan. Hasilnya bisa ditebak dan akan memiliki cita rasa yang sama. Ga asyik kan masalah berapa siung bawang saja harus diatur2, padahal selera setiap orang pasti berbeda.

Transit di KLIA2 serasa belum ke luar negeri. Banyaknya kesamaan dengan negeri jiran ini membuat semuanya menjadi mudah dan nyaman. Ketegangan sedikit meningkat saat panggilan boarding terdengar. Tengok kanan kiri semuanya India. Sepertinya saya satu2nya muka ‘asing’ disini. Bakalan ga ada temen nih saat ngurus Visa on Arrival. Ah, peduli setan, the show must go on.

Memasuki pesawat semuanya normal2 saja. Aroma India yang menurut blogger sudah tercium sejak di dalam pesawat tidak terbukti sama sekali. Atau jangan2 hidung ini yang kurang sensitive atau saya-nya yang lebih busuk dari mereka, entahlah. Saya lihat rata2 penumpang India berpenampilan rapi layaknya masyarakat middle class, jauh lebih katrok-an saya yang cuman berkaos kumal dan sandalan jepit. 

Mendarat dengan mulus di Netaji Subhas Chandra Bose International Airport, bandara Kolkata yang relative masih baru dan lumayan layak untuk ukuran negara miskin (berkembang, red), banyak mengurangi kekhawatiran saya. Proses pengurusan VoA dan imigrasi berjalan lancar (ga pakai dipersulit dan suap, red). Juga adanya prepaid taxi dengan ongkos yang jelas dan murah ke pusat kota, itulah kejutan indah pertama yang tidak terduga2 dari India. 

Kejutan indah berlanjut selama perjalanan ke pusat kota. Mungkin karena masih dini hari, perjalanan lancar tanpa macet, juga tanpa acara perilaku kebut2an ala film Bollywood seperti yang sering diceritakan banyak blogger (baru nyadar kalo kebanyakan para blogger itu lebay, red). Selama di India, saya amati kondisi lalu lintas juga masih normal2 saja walaupun pastinya tidak serapi negara maju. Buktinya saya tidak pernah lihat insiden serius di jalan raya yang super duper ruwet itu. Bahkan sapi dan anjing bebas berlenggang kangkung di jalanan tanpa takut ditabrak. Buat kita orang Indonesia harus belajar dari India tentang hal ini.

Tanpa booking hotel sebelumnya, saya dengan percaya diri minta untuk diantarkan ke Sudder street yang menurut informasi tempat ngumpulnya budget hotel di pusat kota layaknya jalan Jaksa di Jakarta. Kekhawatiran mulai muncul saat taxi memasuki Sudder street. Sudah jalannya kecil, gelap, dan masya Allah, sepanjang pinggir jalan penuh dipakai orang tidur (tuna wisma, red), kebanyakan hanya memakai sarung atau celana dalam saja. Setelah turun dari taxi, buru-buru mencari hotel murah dengan menelusuri ke’angker’an Sudder street, hasilnya semua pagar penginapan tergembok rapat tanpa penjaga. Apakah ini tanda2 bahwa saya berada di wilayah yang tidak aman? 

Kekhawatiran semakin menjadi-jadi ketika melewati sekumpulan orang dengan mata menatap tajam siap memangsa (lebay, red). Sambil berusaha menguatkan hati, kaki terus mempercepat langkah agar cepat tiba di ujung jalan yang sepertinya lebih terang dan aman. Saya tidak boleh habis di malam pertama dan harus bisa melewati tantangan ini.

Beruntung (atau sial, red) ada taxi yang lewat dan tentunya saya tidak mensia-siakan kesempatan yang ada untuk bisa keluar dari wilayah ini. Saya paham betul, sopir taxi-nya juga tidak akan melewatkan kesempatan emas untuk mendapatkan penumpang (mangsa, red). Ini semuanya beresiko, tapi tentunya harus memilih yang menurut perkiraan paling minim resiko. 

How much? 150 rupee (30 ribu) hingga ke hotel, okelah masih rasional menurut saya. Dan sudah bisa ditebak sebelumnya, setibanya di hotel yang ‘sederhana’ sesuai permintaan saya, si sopir taxi menegoisasikan (kongkalingkong, red) dengan penjaga hotel. The room price is 2500 rupee. Edan, duit 500 rb untuk hotel kelas esek2 begitu. No sir, it’s too expensive for me. Maybe the other hotel. Taxi jalan lagi ke lorong2 sempit perkampungan nan kumuh yang semakin menambah adrenalin saya malam itu. Tiba di hotel yang lebih hancur lagi, seperti sebelumnya, mereka bercakap2 terlebih dahulu sebelum keluar keputusan, 1800 rupee. Ah, sudahlah, capek malam ini. Hitung2 itu harga yang harus dibayar untuk rasa aman. Plus ongkos untuk taxi, si sopir minta dua kali lipat dari perjanjian sebelumnya, 300 rupee. Menyesal kenapa tidak bermalam di airport saja menunggu pagi.

Saya berhasil dirampok malam ini. Menyadarkan diri saya bahwa comfort zone sudah berlalu dan perjalanan panjang resmi dimulai. Namaste, India….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar