Berkunjung ke India untuk pertama
kalinya tentu bukan tanpa persiapan sama sekali. Mencari sedikit informasi
dengan googling atau membaca beberapa blog tentang pengalaman penulis selama
travelling di India saya rasa sudah cukup. Sengaja ‘sedikit’ untuk menjaga
dinamika, tantangan dan unpredictable situation. Kejutan2 inilah yang justru
menjadi candu, disamping juga perjalanan akan menjadi lebih kaya cerita dan
makna.
Pastinya
bukan menggali informasi lewat Lonely Planet. Kitab sucinya para traveler ini
menurut saya lebih mirip buku resep masakan. Nginap dimana, makan dimana, naik
apa dan ongkosnya berapa, sebaiknya kemana semuanya tertulis rinci seperti
resep masakan. Hasilnya bisa ditebak dan akan memiliki cita rasa yang sama. Ga
asyik kan masalah berapa siung bawang saja harus diatur2, padahal selera setiap
orang pasti berbeda.
Transit
di KLIA2 serasa belum ke luar negeri. Banyaknya kesamaan dengan negeri jiran
ini membuat semuanya menjadi mudah dan nyaman. Ketegangan sedikit meningkat
saat panggilan boarding terdengar. Tengok kanan kiri semuanya India. Sepertinya
saya satu2nya muka ‘asing’ disini. Bakalan ga ada temen nih saat ngurus Visa on
Arrival. Ah, peduli setan, the show must go on.
Memasuki pesawat semuanya normal2
saja. Aroma India yang menurut blogger sudah tercium sejak di dalam pesawat
tidak terbukti sama sekali. Atau jangan2 hidung ini yang kurang sensitive atau
saya-nya yang lebih busuk dari mereka, entahlah. Saya lihat rata2 penumpang
India berpenampilan rapi layaknya masyarakat middle class, jauh lebih katrok-an
saya yang cuman berkaos kumal dan sandalan jepit.
Mendarat dengan mulus di Netaji
Subhas Chandra Bose International Airport, bandara Kolkata yang relative masih
baru dan lumayan layak untuk ukuran negara miskin (berkembang, red), banyak
mengurangi kekhawatiran saya. Proses pengurusan VoA dan imigrasi berjalan
lancar (ga pakai dipersulit dan suap, red). Juga adanya prepaid taxi dengan
ongkos yang jelas dan murah ke pusat kota, itulah kejutan indah pertama yang
tidak terduga2 dari India.
Kejutan indah berlanjut selama
perjalanan ke pusat kota. Mungkin karena masih dini hari, perjalanan lancar
tanpa macet, juga tanpa acara perilaku kebut2an ala film Bollywood seperti yang
sering diceritakan banyak blogger (baru nyadar kalo kebanyakan para blogger itu
lebay, red). Selama di India, saya amati kondisi lalu lintas juga masih normal2
saja walaupun pastinya tidak serapi negara maju. Buktinya saya tidak pernah
lihat insiden serius di jalan raya yang super duper ruwet itu. Bahkan sapi dan
anjing bebas berlenggang kangkung di jalanan tanpa takut ditabrak. Buat kita
orang Indonesia harus belajar dari India tentang hal ini.
Tanpa booking hotel sebelumnya,
saya dengan percaya diri minta untuk diantarkan ke Sudder street yang menurut
informasi tempat ngumpulnya budget hotel di pusat kota layaknya jalan Jaksa di
Jakarta. Kekhawatiran mulai muncul saat taxi memasuki Sudder street. Sudah
jalannya kecil, gelap, dan masya Allah, sepanjang pinggir jalan penuh dipakai
orang tidur (tuna wisma, red), kebanyakan hanya memakai sarung atau celana
dalam saja. Setelah turun dari taxi, buru-buru mencari hotel murah dengan
menelusuri ke’angker’an Sudder street, hasilnya semua pagar penginapan
tergembok rapat tanpa penjaga. Apakah ini tanda2 bahwa saya berada di wilayah
yang tidak aman?
Kekhawatiran semakin menjadi-jadi
ketika melewati sekumpulan orang dengan mata menatap tajam siap memangsa
(lebay, red). Sambil berusaha menguatkan hati, kaki terus mempercepat langkah
agar cepat tiba di ujung jalan yang sepertinya lebih terang dan aman. Saya
tidak boleh habis di malam pertama dan harus bisa melewati tantangan ini.
Beruntung (atau sial, red) ada
taxi yang lewat dan tentunya saya tidak mensia-siakan kesempatan yang ada untuk
bisa keluar dari wilayah ini. Saya paham betul, sopir taxi-nya juga tidak akan
melewatkan kesempatan emas untuk mendapatkan penumpang (mangsa, red). Ini
semuanya beresiko, tapi tentunya harus memilih yang menurut perkiraan paling
minim resiko.
How much? 150 rupee (30 ribu)
hingga ke hotel, okelah masih rasional menurut saya. Dan sudah bisa ditebak
sebelumnya, setibanya di hotel yang ‘sederhana’ sesuai permintaan saya, si
sopir taxi menegoisasikan (kongkalingkong, red) dengan penjaga hotel. The room
price is 2500 rupee. Edan, duit 500 rb untuk hotel kelas esek2 begitu. No sir,
it’s too expensive for me. Maybe the other hotel. Taxi jalan lagi ke lorong2
sempit perkampungan nan kumuh yang semakin menambah adrenalin saya malam itu.
Tiba di hotel yang lebih hancur lagi, seperti sebelumnya, mereka bercakap2
terlebih dahulu sebelum keluar keputusan, 1800 rupee. Ah, sudahlah, capek malam
ini. Hitung2 itu harga yang harus dibayar untuk rasa aman. Plus ongkos untuk
taxi, si sopir minta dua kali lipat dari perjanjian sebelumnya, 300 rupee.
Menyesal kenapa tidak bermalam di airport saja menunggu pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar